Beranjak Bernostalgia – Bagian Kedua
“Good days and sad days, hard days and happy days, now it becomes memories of the past — Winner”
Keesokan harinya, aku bergegas memulai kegiatan temu nostalgia dengan seseorang yang pertama kali berkenan menjadi temanku di Batam. Kita berjumpa di sebuah restoran di lantai tiga di dalam salah satu pusat perbelanjaan modern yang memiliki dinding kaca besar dengan pemandangan langsung menuju pelabuhan. Aku selalu suka dengan suasana restoran ini, tenang dan santai dengan alunan musik jazz yang terdengar pelan dari pengeras suara. Lampu gantung yang modern menambah suasana menjadi sangat intim. Aku duduk menghadap dinding kaca sambil memainkan ponsel untuk mengabadikan pemandangan laut dengan kapal-kapal berlayar menuju negeri seberang sembari menunggu temanku datang.
Tak lama kemudian, pramusaji restoran berseragam coklat datang menghampiri, dan bertanya dengan sopan, “Selamat siang kak, mau pesan apa?” Tawarannya dengan senyum ramah sambil menyodorkan buku menu.
Aku melihat-lihat sekilas buku menu yang diberikan oleh pramusaji “Saya pesan Teh Obeng dulu deh mbak, untuk makanannya nanti tunggu teman saya datang saja, sekitar tujuh menitan lagi dia sampai”. Pramusaji terlihat mencatat dengan seksama dan mengulang kembali pesanan yang aku sebut termasuk untuk datang kembali setelah temanku datang. Ia mulai menutup buku menunya dan kembali menuju ke tempat dia bekerja.
Sementara dari pengeras suara mengalunkan lagu jazz yang aku tidak tahu apa judulnya, karena aku bukan penggemar lagu jazz. Aku mengalihkan perhatianku ke samping mejaku kepada dua anak kecil yang sangat lahap dengan makanan penutupnya, Ibunya sibuk memotong waffle coklatnya kecil-kecil supaya muat di mulut kecil anaknya, sementara ayahnya terlihat sangat serius melihat layar ponselnya. Aku sejenak menyimpulkan bahwa mungkin ayahnya sedang mendapat kabar buruk dari tempat ia bekerja atau bisa jadi sedang membaca berita yang berdampak pada bisnisnya, yang jelas alisnya mengkerut membentuk huruf V dan istrinya sesekali melirik untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Di seberang meja keluarga kecil tersebut, ada empat orang wanita yang sedang bercanda, mereka terlihat sangat bahagia seperti pertemuan seorang sahabat yang sudah lama tidak berjumpa, dan seperti itulah kegiatan yang akan aku lakukan dengan Lana, teman yang aku tunggu kehadirannya. Melihat kehangatan persahabatan mereka, aku jadi iri sehingga aku bergegas meraih ponsel di meja mencoba mengirim pesan ke Lana untuk menanyakan sudah sampai mana ia berada, namun belum selesai aku menekan tombol kirim, suara khas agak cempreng yang sangat familiar di telingaku ini mengirimkan sinyal ke badan seoalah memerintahkan kepalaku untuk mendongak ke arah sumber suara.
“Hai, Emm! akhirnya kita ketemuan juga!” sapa Lana dengan sangat bersemangat menghampiri meja tempat aku duduk.
Aku berdiri menyambut dan memeluknya dengan erat “Ya Tuhan, sudah lama sekali nggak lihat kamu, Na!”
Tidak lama setelah kami menyudahi kegiatan salam dan sapa, pramusaji yang tadi kembali lagi menghampiri mejaku, kali ini menjadi meja kami karena Lana sudah resmi bergabung denganku. Pramusaji memberikan buku menunya kepada kami, dan tangannya siap mencatat pesanan. Aku memesan Ayam Bawang dengan sambal yang banyak, menu paling terkenal di restoran ini dan menu yang akan aku rindukan nanti, tak lupa aku juga memesan air mineral. Lana memesan Gado-Gado dengan tambahan kerupuk yang banyak dan Teh Obeng. Setelah selesai mencatat pesanan, mengulanginya, pramusaji tersebut tersenyum ramah dan pergi meninggalkan kami berdua sambil membawa buku menunya.
“Kamu beneran mau pindah ke Ibu Kota? Aduh sayang banget sudah tujuh tahun loh. Jadi kamu berhenti dari pekerjaanmu yang sekarang? Kamu bukannya nikah di sini justru pergi ninggalin aku” Lana menghujani bertubi-tubi pertanyaan tanpa basa-basi dan bertingkah agak dramatis.
Aku tersenyum melihat Lana yang tidak berubah sedikitpun dengan rasa penasarannya seperti ibu-ibu yang siap mendapat bahan gosip. Terakhir kali kami bertemu adalah saat pernikahan Lana, empat tahun yang lalu. Aku senang melihat dia sedikit demi sedikit menjadi pribadi yang lebih baik bersama dengan suaminya. Sebelum bertemu denganku di tempat kerja, dulu dia adalah seorang SPG di salah satu tempat hiburan malam yang cukup terkenal di Batam. Lalu kami dipertemukan di sebuah toko minuman, di mana tempat itu juga menjadi tempat pertama kali aku bekerja untuk mengumpulkan biaya kuliah. Kesan pertama saat aku bejumpa dengannya adalah sangat kaget dan sedikit takut. Lengan tangan kirinya dipenuhi tato bulu burung berbentuk tinta yang menggoreskan namanya “Lana”. Rambutnya pirang, mata sipit, kalau tersenyum terlihat lesung pipi dan matanya seakan hilang termakan oleh tulang pipinya yang agak chubby, wajahnya cantik perpaduan Cina-Indonesia, dan dia selalu berpakaian seksi. Sangat terbalik denganku yang kemana-mana selalu membawa buku dan baju kebesaran. Namun, seiring kedekatan kami di toko, aku mulai mengenal Lana sebagai sosok wanita yang pemberani, sering mengalah untuk diriku, dan orang yang selalu mendukung setiap kecil impian yang terucap dari mulutku.
Aku mengaduk lalu menyeruput Teh Obengku yang mulai mencair es batunya “Rencananya minggu depan berangkat tapi nunggu barang-barang di kosan terjual dulu, yaa semoga aja cepet terjual”
Lana seakan tidak puas dengan jawabanku yang hanya menjawab awal pertanyaannya saja, ia lalu mengedip-ngedipkan mata seoalah ingin mendengar ceritaku lebih lanjut.
“Aku sudah siap berhenti dari tempat kerjaku yang sekarang, aku juga sudah lulus kuliah, sudah tercapai semua tujuanku di kota ini, Na. Aku nggak punya rencana lagi mau melanjutkan hidup di sini. Kalau kata orang, aku sudah terlalu nyaman di zona nyaman, jadi nggak punya semangat dan tujuan. Sepertinya aku perlu dunia baru untuk memulai dan memercikkan lagi harapan-harapan baru”
Lana sedikit menghela nafas dan mengatur tempat duduknya supaya lebih dekat denganku “Kamu sudah yakin?”
Aku tersenyum dan menyandarkan bahuku ke kursi lebih dalam dan kembali menatapi kapal-kapal yang siap berangkat ke negeri seberang “Awalnya aku ragu, Na. Aku takut bagaimana jika sesampainya di Ibu Kota nanti, hidupku tidak jauh lebih baik dari Batam. Di kepalaku dipenuhi dengan ‘Bagaimana jika’, tapi setelah aku pikir-pikir bukankah memang seperti itulah perasaan saat kita akan melakukan langkah baru di kehidupan kita. Banyak kekhawatiran karena kita belum tau apa yang akan kita hadapi ke depan. Jadi, kalau kamu tanya apakah aku sudah yakin, ya gatau, jalanin aja dulu. Tapi setidaknya aku sudah ada rencana mau ngapain di Ibu Kota nanti”
Lana terdiam sejenak setelah mendegar jawabanku “Jujur aku sedih kalau hari ini ternyata jadi hari terkahir kita ketemu di Batam. Aku jadi teringat masa-masa pertama kali kita ketemu di toko, Em. Waktu itu aku takut kamu tidak mau berteman dengaku karena aku bertato, tapi ternyata kamu tidak mempermasalahkan itu dan hanya fokus dengan lembaran latihan soal yang kamu coret-coret tiap hari. Saat aku tanya apa yang sedang kamu kerjain, kamu jawab ‘aku mau kuliah’ dari situ aku yakin kamu pasti bisa kuliah, dan sekarangpun aku juga yakin kamu pasti bisa menaklukkan Ibu Kota”
Aku sedikit berkaca-kaca mendengar ucapan dari Lana. Aku teringat dulu betapa inginnya aku kuliah, setiap melihat teman-teman seumuran mengenakan jas almamater kampusnya, aku selalu iri dan sebenarnya hatiku menangis menjerit ingin mengenakan jas alamater kampus juga. Setiap hari di tempat kerja, aku selalu menyempatkan diri untuk mengerjakan soal-soal latihan masuk perguruan tinggi, bahkan tak sedikit orang yang memandangku dengan pesimis karena menurut mereka seorang penjaga toko mustahil bisa kuliah, tapi Lana beda, ia selalu yang terdepan membela dan mendukung mimpiku. Pernah suatu hari ada karyawan toko sebelah mampir ke toko kami berucap kalau aku tidak mungkin bisa kuliah, karena aku cuma penjaga toko yang gajinya tidak seberapa, lalu Lana berdiri menantang orang tersebut “Jangan kau samakan gaji kami dengan gaji kau ya! Muncung kau kalau nggak bisa keluar omongan baik, diam aja. Ganggu telinga!”. Waktu itu aku sangat tertegun dengan sikap Lana, setelah orang tersebut kembali ke tokonya, kami tertawa pelan karena sebenarnya gaji kita memang sedikit jika dibandingkan dengan gaji penjaga toko-toko sebelah.
Pramusaji yang tadi lagi-lagi datang ke meja kami, namun kali ini ia mendorong troli berisikan makanan dan minuman yang kami pesan. Setelah selesai meletakkan semua pesanan di atas meja, pramusaji mengucapkan terimakasih dan kembali meninggalkan aku dan Lana.
Kami mulai makan pesanan kami, sesekali kami menggoyangkan kepala ke kanan dan ke kiri karena merasa senang masakannya sangat lezat. Setelah beberapa kali makanan sudah ditelan, Lana mengambil Teh Obeng untuk menjeda kunyahannya sejenak. Ia seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi ragu untuk mengeluarkannya. “Em, kamu dengan si itu gimana?”
“Siapa?” jawabku bingung.
“Itu yang dulu suka bawakan soal latihanmu sama yang biasa jemput kamu pulang kerja”
“Oh Vino? Sudah nikah”
Sekarang Lana tidak lagi menjeda kunyahannya, ia benar-benar menghentikan kegiatan makan-makanya. Ia meletakkan sendok di sebelah kanan dan garpu di sebelah kiri piringnya dengan bentuk menyerupai segitiga di atas piring tanda ia masih ingin melajutkan makannya lagi, lalu menyeruput Teh Obeng dan mengelap bibirnya dengan tissue. Ia menggeser kursinya supaya lebih dekat denganku dan memasang gestur seperti anak sekolah yang siap mendapatkan penjelasan materi dari gurunya.
“Takdir” Jawabku singkat sambil menaikkan kedua bahuku yang juga bisa diartikan bahwa aku memang tidak tahu dengan takdir yang sudah digariskan.
Bagiku takdir itu memang aneh, seperti angin yang datangnya tak terduga, arahnya tak tertebak. Kadang ia hadir sebagai melodi yang indah, tak jarang pula menjelma menjadi badai yang memporak-porandakan pondasi mimpi kita. Namun, di balik segala misterinya, takdir selalu menyimpan sejuta hikmah. Ia adalah guru yang tak pernah lelah mengajarkan tentang arti kesabaran, keteguhan, dan keikhlasan. Takdir itu seperti cermin yang memantulkan bayangan diri kita sendiri, mengajak kita untuk merenungi setiap langkah yang telah terayun. Belakangan ini aku melihat takdir sebagai sesuatu yang apapun terjadi adalah yang terbaik untuk diriku.