Beranjak Bernostalgia — Bagian Pertama
Batam, we met and became a memory.
Malam itu seperti malam-malam biasa lainnya di Batam, tidak ada yang menarik kecuali warna langit di kota ini yang tidak pernah berwarna gelap kecuali hujan badai lebat. Katanya karena banyaknya cahaya buatan yang dihasilkan oleh aktivitas manusia di kota ini. Gedung-gedung tinggi, pabrik, kendaraan yang secara kompak menyalakan lampu pada malam hari membuat cahaya buatan ini menyebar ke atmosfer, sehingga menghalangi cahaya dari bintang dan bulan untuk mencapai mata kita.
Selain itu, ada yang pernah bilang juga karena Batam terletak di selat Malaka, sebagai jalur pelayaran internasional yang ramai di mana kapal-kapal berlayar menyalakan lampu pada malam hari menambah kontribusi terhadap warna langit malam Batam yang terkadang berwarna jingga, merah muda, dan biru tua. Tentu saja fenomena ini sangat menarik bagiku karena selama hidup di desa, langit malam selalu berwarna hitam dan gelap.
Aku menyudahi aktivitas memandang langit dari jendela kamar dan kembali beranjak ke tempat tidur. Aku menoleh ke kiri mencoba mencari ponsel diatas meja, tiga kali percobaan menggayuh akhirnya dapat juga. Aku mencoba menyalakan lagu Goodbye Yellow Brick Road dari Elton John sambil memandangi langit-langit ruangan kamar.
“When are you gonna come down?
When are you going to land?
I should have stayed on the farm
I should have listened to my old man”
Alunan melodi yang begitu lembut dan penuh nostalgia ini berhasil membawaku ke dalam suasana yang sedikit melankolis. Aku mengingat kembali momen di mana aku menghabiskan tujuh tahun di kota ini, rasanya seperti sudah menjadi penduduk asli saja. Logat bicara sudah ikutan berubah bahkan lidah ini juga ikut menyatu dengan makanan khas Melayu-Sumatera. Mi Tarempa, Mi Sagu, Luti Gendang, Ayam Goreng Bawang, Sop Ikan, dan Gonggong aku akan selalu merindukan rasanya dan tentu saja Teh Obeng, minuman yang selalu menjadi misteri bagi pendatang baru. Teh Obeng, adalah es teh manis biasa bukan teh dengan kandungan obeng (alat pertukangan). Aku pernah bertanya-tanya tentang asal usul penamaan teh obeng. Menurut cerita yang aku dengar, teh obeng awalnya dibuat oleh seorang pedagang Tionghoa yang tinggal di Batam. Minuman ini terbuat dari daun teh yang direbus dan memiliki aroma herbal yang khas disajikan dengan es kristal atau dalam bahasa setempat disebut “apeng”. Kata apeng kemudian berubah menjadi obeng karena pengaruh dialektika bahasa Melayu yang merupakan bahasa ibu dari penduduk asli Batam. Sejak saat itu, masyarakat Batam kompak menamai es teh manis menjadi Teh Obeng. Apeng-Abeng-Obeng, sungguh perubahan kata yang menarik.
Bagiku Batam sudah menjadi rumah kedua selama ini. Sangat bangga bisa berkenalan dengan banyak orang dari berbagai suku dan agama, mengenal lebih dalam nama-nama pulau yang sebelumnya tidak pernah aku dengar selama belajar di sekolah, mengenal lebih dalam hal-hal baru tentang budaya Melayu dan Tionghoa, bahkan sekarang aku tidak salah lagi membedakan pulau Sumatera Kalimantan dan Sulawasi -karena dulu sering kebalik-balik, hehe.
Alasan aku pindah dari Batam ke ibu kota adalah karena apa yang aku impikan dari kota ini sudah sepenuhnya terwujud dan ingin mengejar impian baru yang selalu aku gaungkan di ibu kota. Aku masih ingat dengan jelas awal pertama kali datang ke kota ini, H-1 persis sebelum ulang tahunku yang ke-18 tahun. Aku juga masih ingat bagaimana semangatnya aku akan menaiki pesawat terbang untuk pertama kalinya, wajar saja anak yang dari lahir hingga tamat SMA ini tidak pernah keluar dari pulau Jawa. Aku datang ke kota ini bersama dengan kakakku yang sudah menjadi mahasiswa duluan di salah satu Universitas swasta ternama di Batam. Rencana awal memang ingin ikutan tes di kampus di mana kakakku belajar, sudah diterima juga, tapi terpaksa mengundurkan diri karena biaya yang melebih dari budget sehingga aku memutuskan untuk menahan mimpiku dan melanjutkan rencana kedua, yaitu kerja dulu baru kuliah. Tidak kusangka butuh dua tahun untuk bisa masuk ke salah satu kampus negeri di Batam.
Suara dari Elton John masih terdengar, aku kembali mengamati satu persatu sudut ruangan tembok berwarna coklat susu, terdapat lemari peninggalan kakak penghuni kamar sebelah, meja kayu yang di atasnya terdapat sebuah foto bingkai team 7 Naruto, mini pantri, dan tumpukan buku setinggi kurang lebih satu meter. Barang-barangku memang tidak terlalu banyak, tapi tetap saja butuh energi yang besar untuk mengemas semuanya. Andai saja aku punya pintu Doraemon pasti semuanya akan terasa mudah, keluhku.
Aku lalu bergerak dari kasur, memulai mengemas barang-barang yang berada di mini pantri dan beberapa buku untuk kujual ke forum jual beli bekas. Aku memulai mengambil foto dan mengunggahnya. Setelah hampir satu jam aku sudah merasa lelah namun hanya barang-barang yang di mini pantri aja yang sudah selesai aku foto. Aku mengambil jeda sejenak dan beralih menyusuri tumpukan buku yang dulu aku kumpulkan satu persatu dengan uang gajiku. Aku memilah buku sambil berguman “ohh ini ceritanya sedih banget”; “ini buku terlalu banyak bullshit”; “yang ini dari temanku, hadiah ulang tahun”; “novel ini fisika banget” dan seterusnya sampai di pertengahan, aku menemukan beberapa foto yang teselip di tumpukan buku tersebut. Aku tersenyum, memandangi wajah-wajah yang ku kenal, teman kerja, teman kampus, bahkan foto bersama teman-temanya kakakku. Aktivitas ini justru membangkitkan kembali kenangan awal mula pertemuanku dengan mereka. Perasaanku campur aduk, aku mengambil ponsel dan memutuskan untuk menghubungi mereka satu persatu, meminta waktu untuk bertemu sebentar sebelum aku benar-benar meninggalkan Batam hanya untuk bernostalgia dan kembali mengabadikan momen untuk terakhir kalinya.
“Halo, Na. Mari bertemu sebentar sebelum aku pergi meninggalkan Batam”